pada tanggal
Pengembangan Diri
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Tak banyak yang peduli bahwa keberlangsungan hidup berawal dari langkah sederhana. Salah satunya adalah pengolahan limbah rumah tangga hasil penggorengan.
Bagi
masyarakat Indonesia, menu gorengan menjadi salah satu menu andalan. Proses
memasak sederhana hanya dengan menggunakan minyak goreng kemudian dipanaskan
hingga suhu tertentu maka segala makanan yang ingin digoreng siap untuk
diproses. Hasil akhirnya, tentu makanan untuk dinikmati dan minyak jelantah.
Makanan
hasil penggorengan pastinya sudah jelas peruntukannya, bakal habis dinikmati
untuk mendukung aktivita harian sebagai sumber energi. Tetapi, minyak jelantah
yang berasal dari minyak goreng yang berkali-kali digunakan hingga berwarna
hitam pekat akan berakhir menjadi limbah cair rumah tangga.
Minyak
jelantah ini, jika dibuang ke tanah atau badan air akan menjadi polutan yang
mengerikan. Bayangin saja bahwa setiap 1 liter minyak jelantah yang terbuang
tersebut bisa mencemari 1 juta liter air permukaan. Ngeri sekali bukan.
Ditambah
lagi fakta bahwa tahun 2023 yang lalu tidak kurang dari 1,2 juta kilo liter
limbah minyak jelantah yang dihasilkan per tahun. Khusus skala rumah tangga
sendiri, setiap 1 liter minyak goreng yang digunakan akan menghasilkan 0,4
liter minyak jelantah (berdasarkan hasil Riset Traction Energy tahun 2022).
Jika semuanya dibuang ke badan tanah atau air, maka tidak bisa dibayangkan lagi
berapa besar pencemaran air permukaan yang terjadi.
Apalagi jika hal tersebut terjadi di pulau kecil seperti kabupaten pulau seribu dengan kepadatan penduduk 2.881 per km2 (berdasarkan data proyeksi penduduk interim 2020-2023) yang mengandalkan mata pencaharian dari laut serta memanfaatkan air tanah dari pulau yang tersedia. Limbah minyak jelantah akan menjadi ancaman keberlangsungan hidup sekaligus merusak mata pencaharian mereka.
Ancaman
dari minyak jelantah yang bisa mencemari air permukaan mendapat sambutan hangat
bagi masyarakat yang tinggal di sekitar pulau seribu. Mereka tidak hanya
tinggal diam, melalui Yayasan Rumah Literasi Hijau yang didirikan oleh Mahariah
sebagai salah satu tokoh pencetus Gerakan Pulauku Nol Sampah, limbah minyak
jelantah tersebut “disulap” menjadi sabun pencuci piring.
Proses
pembuatan sabun pencuci piring dari limbah minyak jelantah ini mengadopsi
proses saponifikasi atau reaksi penyabunan. Dimana kandungan Trigliserida yang ada
pada minyak jelantah hasil penyaringan dari kotoran yang ada akan bereaksi
dengan basa kuat sehingga diperoleh pasta minyak jelantah. Secara sederhana,
berikut reaksi yang terjadi:
Pasta
minyak jelantah ini selanjutnya digunakan sebagai material dasar sabun cair
pencuci piring dengan penambahan additive seperti pelembut, penstabil
busa, pewangi hingga pewarna sabun. Hasil akhirnya diperoleh sabun pencuci
piring yang bisa dimanfaatkan kembali oleh warga.
Gerakan
dan inovasi mengubah limbah minyak jelantah ini bukan hanya mengurangi limbah
cair tetapi juga menggerakkan masyarakat akan kepedulian terhadap lingkungan
dan bertanggung jawab atas limbah yang dihasilkan. Apalagi sabun cuci piring
yang dihasilkan merupakan produk yang bisa terurai oleh lingkungan alias biodegradable.
Keberhasilan mengubah minyak jelantah dari limbah rumah tangga yang bisa mencemari air menjadi sabun cuci piring yang biodegradable adalah bukti nyata dari inovasi teknologi untuk mendukung keberlangsungan lingkungan, sumber air dan mata pencaharian.
Percaya
lah, setiap orang tidak ada yang menginginkan bencana. Tetapi, jika bencana itu
datang mau tidak mau kita harus menghadapinya dan bangkit dari keterpurukan.
Seperti itulah yang terjadi awal mula dari Gerakan nol sampah di kepulauan
seribu.
Meskipun
terlihat saat ini, masyarakat yang ada disekitar pulau pramuka dan pulau
panggang sudah berhasil membuat sabun cuci piring dari limbah minyak jelantah
tetapi ada cerita suram dan bencana dibalik keberhasilan tersebut.
Kala
itu, tahun 2009 dimana Jakarta dilanda banjir besar yang berasal dari
intensitas curah hujan tinggi sehingga debit air Sungai Ciliwung pun meningkat.
Aliran air ini membawa berton-ton sampah ke perairan hingga sampai ke kepulauan
seribu termasuk pulau pramuka. Sampah dari Ciliwung ini ternyata menyumbangkan
60 % dari total sampah yang ada di kepulauan seribu.
Bencana
sampah ini membuat pulau pramuka benar-benar harus berjuang ekstra. Bukan hanya
berjuang melawan ancaman abrasi tetapi juga berjuang membersihkan sampah
kiriman tersebut karena merusak tanaman bakau, merusak ekosistem dan biota
laut. Ujung-ujungnya berimbas dengan mata pencaharian karena kesulitan mencari
ikan.
Untungnya,
bencana kiriman sampah ini tidak berakhir tragis. Para warga mulai bergerak
membersihkan sampah di sekitar pantai. Salah satu tokoh penggerak dalam
mengatasi masalah kiriman sampah ini adalah Mahariah yang mencetuskan
program Pulauku Nol Sampah.
Mahariah, Penggagas Gerakan Pulauku Nol Sampah
Gerakan
“Pulauku Nol Sampah” ini merupakan salah satu bagian program dari KBA Pulau
Pramuka. Bentuk gerakannya, bukan hanya fokus terhadap pembersihan sampah
kiriman dan lokal tetapi juga melakukan proses daur ulang sampah. Semua
prosesnya melibatkan masyarakat secara berkelompok.
“Kampung Berseri ASTRA yang biasa disingkat KBA merupakan salah satu bentuk kontribusi sosial dari ASTRA group dalam rangka pengembangan masyarakat berbasis komunitas. Pastinya, program ini mengintegrasikan 4 pilar yaitu kesehatan, pendidikan, dan kewirausahaan dalam satu lokasi”.
Pasca
bencana sampah kiriman, tahun 2015 masyarakat pulau pramuka sudah terbiasa
mengolah sampah sendiri. Awalnya hanya 9 anggota keluarga kemudian berkembang
menjadi 40 keluarga. Mereka mulai memilah sampah ke dalam dua kantong yaitu
sampah organik dan anorganik. Menariknya, kantong yang digunakan terbuat dari
kaleng bekas dan dilukis warna-warni agar lebih menarik.
Menurut
Mahariah, “pembuatan kantong sampah warna-warni dan menarik bertujuan agar
warga lebih tertarik untuk memilah sampah rumah tangga sekaligus memberikan
nilai estetika. Jika warga sudah terbiasa memilah sampah maka selanjutnya jauh
lebih mudah”.
Semua
sampah plastik (kategori anorganik) yang sudah dipilah oleh warga kemudian
disetor ke bank sampah. Hasil setoran sampah ini kemudian dikonversi dalam
bentuk tabungan dengan harga bervariasi. Contohnya, untuk sampah botol plastik
dihargai Rp 4.000 per kilogram, terus sampah gelas plastik senilai Rp 6.000 per
kilogram.
Pemilahan sampah di pulau Pramuka
Nantinya,
tabungan dari hasil pemilahan sampah ini bisa digunakan untuk keperluan warga
seperti untuk membayar biaya sekolah anak, seragam sekolah hingga biaya
berobat.
Bukan hanya menyelesaikan sampah anorganik saja, sampah organik pun dimanfaatkan kembali menjadi pupuk kompos. Melalui program komposter ember tumpuk yang bisa langsung digunakan sebagai media pembuatan pupuk kompos di rumah masing-masing.
Melalui
gerakan peduli sampah ini, masyarakat di pulau pramuka bukan hanya sadar akan
keberlangsungan lingkungan tetapi juga menyelesaikan masalah limbah rumah
tangga mereka sendiri. Karena bagi mereka, keberlangsungan masa depan diawali
dengan bertanggung jawab atas limbah yang dihasilkan.
Komentar
Posting Komentar