pada tanggal
Pengembangan Diri
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Alangkah
terkejutnya saya, saat membaca headline artikel berita dari liputan6.com bulan
Juni lalu yang berjudul, ‘Baru 3 Hari Dibersihkan Pandawara, Sungai Citarum
Kembali Dipenuhi Sampah’. Kebayang nggak sih, betapa besarnya masalah
terkait sampah ini. Sungai Citarum yang sudah dibersihkan dari tumpukkan sampah
oleh tim Pandawara bersama warga sekitar 3 hari kemudian terjadi lagi tumpukan
sampah. Ngeri tapi begitulah faktanya.
Melihat
kejadian ini, bukan hanya berharap gerakan pembersihan sungai tetapi jauh dari
itu adalah masalah kebiasaan manusia itu sendiri. Jika ini tidak dibereskan,
maka tidak heran bencana banjir sampai yang berasal dari air Sungai lambat laun
akan terjadi juga.
Urusan
sampah seakan-akan jalan ditempat. Pemerintah sebenarnya sudah mulai
memfasilitasi system sampah terintegrasi mulai dari pengangkutan, pengumpulan
hingga pengolahan sampah di TPU. Tapi ternyata masih banyak yang belum sadar
dalam penerapannya. Apalagi bagi warga yang tinggal di bantaran sungai.
Jujur, saya sering sekali melihat warga yang tinggal di dekat sungai membuang sampah rumah tangganya langsung k aliran sungai. Bagi para pecinta moda transportasi KRL yang lewat Manggarai juga tidak heran lagi di sekitar tanggul tumpukan sampah yang tertahan juga banyak. Jika sudah seperti ini, maka memang perlu gerakan nyata dalam meningkatkan kesadaran akan pengelolaan sampah.
Sering
banget kan, melihat tulisan buanglah sampah pada tempatnya. Tetapi bagi
sebagian kalangan, kalimat tersebut dijadikan bahan lelucon. Penggunaan kata
“pada tempatnya” dibuat seakan-akan semua lokasi yang terbuka bisa dijadikan
tempat pembuangan sampah. Bisa jadi “pada tempatnya” itu adalah selokan,
sungai, trotoar, taman dan lain-lain, bukan tempat sampah.
Meskipun
itu terlihat ‘lelucon’ tetapi fakta di lapangan berkata lain. Lelucon yang
menjadi kenyataan. Masih banyak sekali orang-orang yang membuah sampah
sembarangan. Bukan cuma itu saja, mirisnya adalah saat melihat tong sampah yang
tidak penuh tetapi di sekitar area tong sampah banyak sampah berserakan. Jika
sudah seperti ini, sangat jelas bahwa manusianya yang perlu menjadi perhatian.
Meskipun memang perlu juga melakukan perubahan pada level tingkatan seruan yang
menggunakan kalimat tepat.
Penggunaan
kalimat, ‘buanglah sampah pada tempat sampah’ akan memberikan penekanan
terkait lokasi yang tepat untuk membuang sampah dibanding jika menggunakan
kalimat ‘buanglah sampah pada tempatnya’. Berharap kalimat seperti ini
bisa membuat orang lebih sadar dan tepat sasaran untuk membuang sampah.
Empat
belas tahun yang lalu, permasalahan sampah seperti ini pun sudah muncul. Dari
salah satu sekolah yang ada di Bandung, muncullah salah satu tokoh pelopor yang
bernama Amilia Agustin.
Sampahmu
adalah tanggung jawabmu menjadi salah satu alasan Amilia Agustin
membuat gerakan “Go To Zero Waste School”. Berawal dari
kegelisahan Agustin dalam melihat kondisi sampah di sekitar sekolah. Kemudian
gerakan ini muncul untuk mengajak para siswa SMP yang kala itu satu sekolah
dengan Agustin untuk mulai membuang sampah, memilah dan mengolahnya ke dalam
bentuk sampah anorganik, organic, tetra pak dan kertas.
Sampah
tersebut yang sudah dipilah, kemudian dilakukan proses recycle agar bisa
menghasilkan nilai ekonomis dan bermanfaat untuk kebutuhan sehari-hari. Seperti
sampah tetra pak yang di recycle menjadi tas dan sampah organik yang
diolah menjadi pupuk kompos. Sistem seperti ini awalnya hanya diterapkan di sekolah
Agustin yaitu SMP Negeri 11 Bandung. Di sekolah Agustin tampak dengan jelas
sistem pengelolaan sampah sehingga tercipta lingkungan sehat dan bersih.
Agustin berharap, dengan memulai dari sekolah maka gerakan ini bisa dilanjutkan
di rumah masing-masing.
Keberhasilan
program ini ternyata mendapat sambutan hangat dari sekolah lain seperti SMPN 48
Bandung, SMPN 40 Bandung, SMP Alfa Centauri Bandung dan SMPN 50 Bandung.
Agustin menjadi pembina dalam mengelola sampah di sekolah tersebut.
Kebayang
nggak hasil dari gerakan ini, dimana setiap sampah yang dihasilkan diolah dan
dimanfaatkan kembali sehingga beban lingkungan berkurang dan keberlanjutan
hidup pun semakin baik. Karena siklus sampah itu sendiri tidak menyebabkan
penambahan jumlah sampah malah berkurang.
Berkat
kegigihan Agustin, maka beliau mendapat julukan sebagai “Ratu Sampah Sekolah”
dan di tahun yang sama pula, 2010 Amilia Agustin mendapatkan penghargaan dari Semangat
Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards kategori lingkungan.
Setelah
lulus sekolah, Agustin pun melanjutkan studinya di Bali. Layaknya mahasiswi
pada umumnya yang fokus terhadap studi di kampus, Agustin pun seperti itu.
Seiring berjalannya waktu, panggilan jiwanya muncul kembali untuk melakukan
perubahan atas kepedulian terhadap masalah sampah.
Di Bali,
Agustin membentuk komunitas bernama Udayana Green Community
sebagai wadah yang bergerak dalam mengatasi permasalahan lingkungan dengan
fokus utama adalah pengelolaan sampah ke Tingkat dasar seperti sekolah dan
lingkungan masyarakat.
Melalui
komunitas ini, diharapkan masyarakat yang ada di Bali lebih paham dan peduli
terhadap pengolahan sampah. Sosialisasi ke tingkat sekolah dasar juga menjadi
awal yang baik untuk menciptakan kebiasaan membuang sampah, mengelola dan
memanfaatkan sampah itu sendiri.
Agustin
berharap program yang telah dibuat bersama dengan 30 anggota komunitas lainnya
menjadi salah satu program yang bermanfaat dan memberikan dampak berkelanjutan
demi terjaganya lingkungan yang sehat bebas sampah. Itulah mengapa slogan
sampahmu tanggung jawabmu menjadi sangat penting sekaligus kunci keberhasilan
pengelolaan sampah.
Semangat
Agustin, bisa menjadi contoh baik buat kita agar tidak ada lagi berita viral
akan sampah yang menumpuk. Kita semua harus sadar bahwa mengelola sampah dari
rumah sendiri serta memanfaatkan kembali sampah yang bisa di recycle itu
artinya kita sudah menjadi bagian dalam penyelamat lingkungan untuk masa depan
anak cucu kita. Yuk dimulai.
Komentar
Posting Komentar