Pemutus Rantai Buta Aksara itu Bernama Eko Cahyono

 

Ternyata begini rasanya, definisi fasilitas ibu kota dan dukungan sekitar menjadi penentu pencapaian anak dalam bidang pendidikan.

Jujur, saya sendiri merasakannya. Selama kurang lebih 1 tahun menetap dan tinggal di Jakarta ternyata terasa sekali bedanya dalam hal pendidikan termasuk kemampuan membaca anak. Beberapa tetangga saat ngobrol mengatakan bahwa, “anak saya sudah bisa membaca karena ikut les Bimba. Hasilnya lumayan, baru TK B sudah bisa membaca”.

Hal yang sangat kontras dengan apa yang terjadi di salah satu desa bernama Pantai Tambu kabupaten Parigi Moutong. Di sana, banyak sekali anak SD yang masih belum lancar membaca. Sama halnya dengan yang saya temui kala berkunjung ke Kupang, Nusa Tenggara Timur. Anak-anak seusia remaja belum semuanya lancar dalam membaca. Beberapa diantara mereka masih terbata-bata dalam mengeja setiap huruf demi huruf.

Anak-anak di Kupang

Padahal, jika merujuk hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional untuk dua tahun terakhir menunjukkan penurunan signifikan angka buta aksara penduduk Indonesia usia 15-59 tahun. Sebagai gambaran bahwa tahun 2022 angka buta aksara sebesar 1,51 % atau sejumlah 2.850.851 orang sedangkan pada tahun 2023 tinggal 1,08 % dengan jumlah sebesar 1.958.659 orang. Bahkan salah satu target dari Kemendikbud era Presiden Jokowi untuk tahun 2024 adalah angka buta aksara dibawah 1%.

Antara Dukungan dan Kemampuan Orang Tua

Beruntungnya bagi keluarga yang peduli masa depan anak termasuk dalam hal pendidikan. Salah satu yang benar-benar dilakukan adalah memastikan anaknya bisa membaca, menulis dan berhitung. Bahkan tidak sedikit orang tua yang rela memberikan les tambahan sedini mungkin, agar anak mereka bisa calistung.

Langkah ini termasuk cara terbaik bagi para orang tua. Mereka bahkan berani menyisihkan penghasilan bulanan demi kebaikan anak mereka. Tetapi dibalik itu semua selalu saja ada orang tua yang tidak mampu. Jangan kan urusan les anak, untuk urusan makan sehari-hari saja masih sulit. Jadi terkadang pendidikan menjadi nomor sekian. Nomor pertamanya adalah bagaimana bisa makan esok hari.

Jika hal seperti ini terus terjadi dan menjadi bagian dari suatu komunitas terendah suatu lokasi seperti tingkat desa maka tinggal menunggu waktu saja bahwa desa tersebut bakal kesulitan dalam menciptakan generasi yang melek akan literasi membaca.

Untungnya, kejadian seperti ini mendapat perhatian dari pemerintah melalui dinas pendidikan hingga masyarakat dan individu. Pemerintah sendiri sudah menjalankan berbagai program termasuk didalamnya program wajib belajar 9 tahun dan bahkan kabinet Prabowo sekarang mulai mencanangkan program wajib belajar 13 tahun. Itu semua ditujukan untuk memberantas buta huruf.

Selain program dari pemerintah. Ternyata ada juga individu yang berjuang dalam memberantas buta aksara ini. Salah satu yang menarik perhatian adalah Eko Cahyono yang sering dikenal sebagai ‘pembebas buta huruf dari Malang’.

Sebuah Panggilan Hati

Kecintaan Eko Cahyono terhadap dunia literasi berawal dari kebiasaan beliau yang sering membaca buku saat kuliah dulu. Beberapa koleksinya pun lebih banyak adalah novel. Kegemaran membaca ini lah lambat laun menjadi cikal bakal berdirinya perpustakaan keliling.

Semuanya berawal dari tahun 1998. Kala itu Eko Cahyono mulai menyediakan layanan perpustakaan keliling yang diperuntukkan untuk anak-anak di kabupaten Malang yang tidak sekolah. Tujuannya hanya satu, “agar para anak yang tidak sekolah ini bisa membaca dan menulis”.

Eko Cahyono
Eko Cahyono (sumber: dokumen Eko Cahyono)

Lambat laun hasilnya sudah terlihat, banyak anak putus sekolah mulai berdatangan membaca dan belajar menulis di perpustakaan keliling besutan Eko Cahyono. Warga sekitar pun bisa menikmati perpustakaan keliling yang diberi nama Perpustakaan Anak Bangsa (PAB) ini. Selain membaca dan menulis, Perlahan-lahan juga mulai menambah kegiatan lain yang bermanfaat seperti belajar computer, melukis di kanvas, menjahit hingga belajar memasak.

Jalan Panjang Nan Berliku

Meskipun memiliki tujuan mulia untuk membantu memberantas buta huruf anak yang tidak sekolah di sekitar kabupaten Malang, ternyata perjuangan Eko Cahyono tidak semulus yang dibayangkan.

Tahun 2007 merupakan masa tersulit dari keberadaan PAB. Kala itu pemilik kontrakan tidak bersedia untuk dilakukan perpanjangan sewa rumah sebagai lokasi PAB yang ke-8. Ditambah lagi kekurangan dana untuk mengelola PAB.

Penghasilan Eko Cahyono dari menjual gorengan dan honor artikel dari sejumlah majalah masih belum bisa menutupi biaya operasional PAB. Curhatan Eko Cahyono kepada teman-temannya kala itu untuk menutup PAB mendapatkan penolakan.

Teman-teman Eko Cahyono malah berkata bahawa, “Kamu akan berdosa besar kalau menutup PAB sebab awalnya kamu lah yang mengajak masyarakat giat membaca”.

Kalimat ini menjadi cambuk penyemangat. Eko Cahyono terpaksa menjual motor kesayangan satu-satunya yang sering digunakan untuk keliling meminjamkan buku ke masyarakat yang jauh dari lokasi PAB secara gratis. Selain itu, Eko juga nekad menawarkan salah satu ginjalnya agar operasional PAB tetap bisa berjalan. Tetapi kala itu, dua penawar ginjal yang berasal dari Solo dan Bali tidak jadi menggunakan ginjal pak Eko dengan berbagai kendala.

Perpustakaan Anak Bangsa
Perjalanan panjang PAB (sumber: media sosial Eko Cahyono)

Dibalik setiap usaha selalu membuahkan hasil terbaik”. Begitulah yang Eko Cahyono rasakan. Hampir saja keputusasaan itu terjadi. Untungnya terselamatkan dengan hadirnya seorang guru yang menawarkan lahan kebun miliknya untuk digunakan sebagai lokasi PAB. Di atas lahan kebun ini lah dalam tiga hari berdiri bangunan sederhana seluas 72 meter persegi yang digunakan untuk menyimpan koleksi buku PAB.

Dari Ketekunan untuk Keberlanjutan Pendidikan Anak

“Buku adalah jendela dunia dan jendela dunia itulah yang disediakan oleh Eko Cahyono”. Meskipun sempat jatuh bangun, tetapi atas perjuangan dan ketekunan, akhirnya PAB bisa hadir di berbagai lokasi yang tersebar di sekitar kabupaten Malang.

Hingga hari ini tidak kurang 26 perpustakaan yang menjadi perpanjangan tangan dari PAB dan itu semua tersebar di 35 desa dan 7 kecamatan yang ada di kabupaten Malang antara lain Tumpang, Poncokusumo, Kepanjen dan Wates.

Dengan menggunakan konssep perpustakaan 24 jam, PAB bukan hanya sekadar perpustakaan baca saja tetapi lebih dari itu. Anak-anak SD atau Madrasah Ibtidaiyah bisa mendapatkan bimbingan belajar gratis serta belajar menanam obat-obatan tradisional.

Semangat Eko Cahyono yang luar biasa ini membuat beliau meraih penghargaan dari Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards kategori pendidikan tahun 2012.

Bagi Eko Cahyono, penghargaan hanyalah bonus tetapi yang lebih penting adalah bagaimana PAB bisa memberikan manfaat keberlanjutan bagi pendidikan anak-anak di sekitar kabupaten Malang agar terbebas dari buta aksara. Karena mereka punya hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan layak seperti anak-anak yang berada di kota-kota besar.

Keberlangsungan masa depan Indonesia berawal dari pendidikan anak yang layak karena kedepan mereka lah yang memimpin negara ini. 

Komentar